Oleh: Badrul Tamam
Bersalaman
sesudah shalat merupakan fenomena umum shalat berjama'ah di
masjid-masjid negeri ini. Ketika imam selesai salam yang diikuti makmum,
segera ia menghadap ke makmum dan menjabat tangan mereka. Kemudian para
makmum saling bersalaman dengan orang yang di sebelah kanan dan
kirinya, dan sering ditambah orang yang di depan dan di belakangnya.
Bahkan sering orang yang selesai melaksanakan sunnah juga menyalami
(menjabat tangan) kawan yang duduk di sampingnya, walaupun sudah bertemu
dan bertegur sapa sebelum shalat.
Pemandangan
ini menunjukkan tradisi yang sudah mengakar. Seolah bersalaman menjadi
penyempurna kegiatan shalat berjama'ah. Bahkan, ada yang meyakininya
sebagai bagian dari ibadah yang mengiringi shalat, tidak afdhal kalau
tidak bersalaman.
Alasan
yang diungkapkan untuk membenarkannya bermacam-macam. Ada yang
mengiyaskan dengan tuntunan Islam ketika bertemu dengan saudara seiman,
yaitu mengucapkan salam yang dilanjutkan dengan bersalaman. Karena di
akhir shalat seseorang mengucapkan salam ke kanan dan kirinya, lantas
mereka mengikutinya dengan bersalaman, seolah-olah salam ke kanan dan ke
kiri bermakna menyalami orang yang di sebelah kanan dan kirinya.
Ada
alasan lain yang diungkapkan dengan melihat mashlahat yang ingin
diwujudkan, yaitu agar persaudaraan semakin kuat dan persatuan semakin
kokoh. Pendapat ini juga didasarkan pada anjuran bersalaman secara umum.
Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Bahwa dua orang yang bertemu dan bersalaman akan diampuni dosa mereka sebelum berpisah." (HR Ibnu Majah)
Anjuran Bersalaman
Pada
dasarnya bersalaman adalah mubah (boleh), bahkan ada yang mengatakan
sunnah karena hal itu dapat memunculkan kecintaan dan kasih sayang serta
menguatkan ikatan persaudaraan.
Keutamaan salaman telah diriwayatkan oleh beberapa hadits. Salah satunya hadits Hudzaifah bin al Yaman, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya
seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin lainnya lalu dia
mengucapkan salam kepadanya serta menjabat tangannya maka akan gugurlah
kesalahan-kesalahan keduanya seperti rontoknya dedaunan dari pepohon."
(HR. al-Thabrani di dalam “al Ausath”. Al Mundziriy mengatakan di dalam
“at Targhib wa at Tarhib” bahwa aku tidak mengetahui jika di antara
para perawinya terdapat seorang pun yang cacat.”
Dari Salman al Farisi, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya
seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya lalu menjabat
tangannya maka dosa-dosa keduanya akan gugur sebagaimana rontoknya
dedaunan dari pohon kering pada hari bertiupnya angin kencang dan akan
diampuni dosa keduanya walaupun dosa keduanya seperti buih di lautan.” (HR. al-Thabrani dengan sanad hasan)
Diriwayatkan juga dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Dawud, 4343).
Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku
dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari 4156).
Diriwayatkan dari Qatadah, ”Aku berkata kepada Anas bin Malik, ’Apakah bersalaman dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,” Anas menjawab, ”Ya". (HR. Bukhari dan Tirmidzi)
Hadits-hadits
keutamaan salaman di atas menerangkan bahwa salaman yang dianjurkan
adalah dilaksanakan pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya. Dan
menurut Imam An-Nawawi, berjabat tangan (salaman) telah disepakati
sebagai bagian dari sunnah ketika bertemu. Ibn Batthal juga menjelaskan,
“Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya
ulama.” (Syarh Shahih Al-Bukhari Ibn Batthal, 71/50).
Menghususkan Salaman Setelah Shalat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan
para sahabatnya tentunya sangat memahami keutamaan salaman. Namun,
tidak didapatkan satu riwayatpun bahwa mereka menghususkan bersalaman
setelah selesai melaksanakan shalat, baik wajib maupun sunnah. Berarti
bersalaman sesudah shalat tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan khulafaur rasyidin. Sedangkan hadits-hadits yang menyebutkan bersalaman itu pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya.
Syaikh
Abdullah Al Jibrin mengatakan, "Banyak orang shalat menjulurkan
tangannya untuk berjabat tangan dengan orang-orang di sekitarnya yang
dilakukan setelah selesai salam dari shalat wajib, perbuatan ini adalah
bid'ah tidak diriwayatkan dari salaf."
Al-‘Izz
bin Abdissalam berkata, “Berjabat tangan sesudah shalat Shubuh dan Ashar
termasuk bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang dan berkumpul
bersama orang-orang yang menyalaminya sebelum shalat. Sesungguhnya
bersalaman disyari'atkan ketika baru datang. Setelah shalat, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam membaca dzikir yang disyariatkan, membaca istighfar tiga kali, lalu bubar.Ini yang terjadi pada zaman Al 'Izz bin
Abdissalam, sedangkan pada zaman kita bersalaman pada setiap shalat yang lima waktu dan setelah shalat-shalat sunnah.
Setidaknya
ada dua kesalahan yang sering terjadi pada zaman sekarang ini. Pertama,
para jama'ah tidak mengucapkan salam dan bersalaman ketika memasuki
masjid dan berjumpa dengan saudaranya. Biasanya mereka langsung masuk
dan melaksanakan shalat sunnah, kemudian shalat fardhu. Kedua, mereka
berjabat tangan tepat setelah selesai shalat, padahal disyariatkannya
pada saat bertemu.
Intinya,
bahwa berjabat tangan itu baik, jika dilakukan di saat bertemu. Adapun
seusai shalat, tidak ada hadits yang menerangkannya. Padahal suatu
ibadah (yang dilazimi) itu harus ada dalil yang memerintahkannya. Jika
tidak ada, maka tertolak dan tidak boleh diamalkan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang melaksanakan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalnya tersebut tertolak." (HR. Muslim dari Aisyah radliyallah 'anha)
. . . bahwa bersalaman sesudah shalat adalah tradisi kaum Syi'ah yang suka merubah-rubah ajaran Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam.
Kesalahan
lain tradisi bersalaman sesudah shalat adalah memotong tasbih atau
dzikir saudara muslim. Sedangkan memotong dzikir tidak diperbolehkan
kecuali dengan sebab-sebab syar’i. Namun, kenyataannya sering kita
saksikan banyak orang yang mengganggu dzikir saudarnya dengan
mengulurkan tangan untuk bersalaman. Larangan ini bukan semata-mata
karena menjabat tangannya, namun juga karena terpotongnya dzikir dan
kesibukan mengingat Allah Ta’ala.
Kesalahan lain tradisi bersalaman sesudah shalat adalah memotong tasbih atau dzikir saudara muslim.
Kapan Bersalaman Sesudah Shalat Dibolehkan?
Menghususkan
salaman sesudah shalat tidak ada sunnahnya. Karenanya tidak boleh
dijadikan aktifitas rutin dalam rangkaian shalat sehinga terkesan
memiliki keutamaan yang lebih. Namun, jika seseorang tidak sempat
bersalaman dengan saudaranya sebelum shalat, maka dibolehkan dilakukan
sesudah salam atau sesudah dzikir. Bersalaman seperti ini bukan karena
takhsis (menghususkan atau mengistimewakan) waktu sesudah salam untuk
salaman. Tapi karena bertemu dengan kawan yang belum sempat berucap
salam dan berjabat tangan.
Fatwa Syaikh Ibn Bazz
Syaikh Ibn Baaz rahimahullah
mengatakan bahwa dianjurkan untuk bersalaman saat bertemu di masjid
atau di shaff. Dan apabila tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat
maka mereka bisa bersalaman setelah melaksanakan shalat sebagai bentuk
pengimplementasian sunnah yang mulia serta untuk meneguhkan kasih sayang
dan menghilangkan permusuhan.
Akan
tetapi apabila tidak bersalaman sebelum shalat fardhu maka disyariatkan
baginya untuk bersalaman setelahnya atau sesudah mengucapkan
dzikir-dzikir yang disyariatkan.
Apabila tidak bersalaman sebelum shalat fardhu maka disyariatkan baginya untuk bersalaman setelahnya atau sesudah mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan. (Ibnu Bazz)
Adapun
apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang bersegera bersalaman
setelah melaksanakan shalat fardhu, setelah mengucapkan salam kedua,
maka aku tidaklah mengetahui dasarnya dan yang jelas adalah bahwa hal
itu adalah makruh dikarenakan tidak adanya dalil tentangnya karena yang
disyariatkan bagi seorang yang shalat dalam keadaan seperti itu adalah
bersegera mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah melaksanakan shalat fardhunya.
Adapun
shalat nafilah maka disyariatkan untuk bersalaman setelah salam apabila
dia tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat itu dan jika ia telah
bersalaman sebelumnya maka hal itu sudah cukup baginya." (Majmu’ Fatawa
Ibn Baaz, juz XI, hal. 267)
Sikap Orang yang Diajak Salaman
Perlu
diingat, tidaklah termasuk sikap yang bijaksana apabila kita menarik
tangan saudara kita atau menolak tangan yang sudah terlanjur diulurkan
kepada kita untuk berjabat tangan. Justru perbuatan seperti ini termasuk
sikap batil, kasar, dan tidak sopan yang dilarang Islam. Lalu apa yang
harus kita lakukan? Sikap yang lebih bijak adalah menerima uluran
tangannya dengan lemah lembut, lalu dijelaskan bahwa berjabat tangan
seperti itu tidak ada sunnahnya.
Bukan sikap yang bijak apabila kita menarik tangan saudara kita atau menolak tangan yang sudah terlanjur diulurkan kepada kita untuk berjabat tangan.
Semoga
dengan kelemahlembutan tersebut, saudara kita tadi mengambil manfaat
dari nasihat kita, sehingga dia meninggalkan perbuatan yang tidak sesuai
dengan sunnah karena kebodohan atau yang lainnya. Karenanya, wajib bagi
ahli ilmu untuk memberikan penjelasan dengan cara yang baik. Bisa saja
seseorang ingin menegur kesalahan yang dilakukan orang lain, tapi dengan
cara yang salah, justru menyebabkan dia melakukan kemungkaran yang lebh
berat daripada kemungkaran yang ingin diluruskannya. Wallahu a'lam bi
shawab.
Sumber : voa-islam.com
0 komentar:
Posting Komentar