Syaikh
Yasin berusia sepuluh tahun saat Inggris mengumpulkan bangsa zionis
dari seluruh penjuru dunia untuk ditempatkan di tanah Palestina. Melalui
kekuatan militer yang diperkuat dengan cerita bualan tentang tanah yang
dijanjikan, didirikanlah untuk mereka negara yang bernama Israel pada
tahun 1948.
Itulah
awal tahun prahara (nakhbah) bagi bangsa Palestina. Syaikh Yasin
bersama keluarganya dipaksa mengungsi ke wilayah Jalur Gaza. Untuk
sementara waktu dia harus berhenti sekolah karena harus bekerja membantu
kakaknya untuk mencukupi ekonomi keluarga. Tiga tahun kemudian Syaikh
Yasin melanjutkan sekolah hingga terjadilah sebuah kecelakaan yang
membuat seluruh tubuhnya lumpuh kecuali bagian kepalanya. Kondisi lumpuh
tidak menghentikannya meneruskan studi hingga menjadi seorang pengajar
bahasa Arab dan Tarbiyah Islamiyah baik di alamamaternya maupun di
beberapa sekolah bantuan internasional (UNRWA) di Gaza.
Keterlibatannya
dalam gerakan islam berbuntut pada penangkapan oleh pemerintahan Jamal
Abdul Naseer karena dituduh sebagai bagian dari gerakan al Ikhwanul al
Muslimun.
Ketika
tokoh-tokoh gerakan Ikhwan yang berada di Gaza meninggalkan daerah
tersebut untuk lari dari cengekeraman Nasser, Ahmad Yasin memiliki
pandangan lain. Ia menegaskan bahwa di atas tanah itulah kehidupan dan
jihad layak diwujudkan.
Ia
memulai dari nol ketika kekuasaan kaum kiri dan nasionalis mencapai
Tepi Barat dan wilayah Gaza sehingga ketaatan beragama lenyap dari
masyarakat Palestina dalam bentuk yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Ketika
ketaatan beragama dianggap sebagai bid’ah yang buruk dan simbol
keterbelakangan, Syaikh Yasin tetap yakin bahwa era Islam pasti datang
dan debu yang menutupi kesadaran umat akan segera hilang sehingga mereka
kembali kepada akar dan rahasia kemuliaan mereka. Syaikh Yasin
merancang bangunan tersebut: dari shalat ke shalat, dari masjid ke
masjid lain. Syaikh menanamkan benihnya di tanah Isra dan Mi’raj seraya
memberikan kabar gembira akan datangnya hari esok yang lebih baik.
Usahanya
tidak hanya terbatas pada wilayah Gaza, tempat ia mendirikan Majma’
Islami, sebuah sebuah lembaga Islam yang lengkap, mencakup bidang
sosial, kemasyarakatan, dan dakwah. Bahkan, beliau meluaskan upayanya
hingga mencapai Tepi Barat yang menjadi tempat berkembangnya aliran
kiri, nasionalis dan sekuler.
Di
akhir 1970-an dan di awal 1980-an, pohon yang dibangun Syaikh Yasin
sudah mulai membesar sedikit demi sedikit. Pihak-pihak lain di negara
Palestina mulai menyadari bahayanya. Mereka menghadapi upaya Syaikh
Yasin dengan menuduhnya sebagai agen penjajah sebab tidak
memproklamirkan perlawanan bersenjata. Akan tetapi, Syaikh Yasin
memahami tindakannya. Perlawanan tidak boleh tegak di atas pondasi yang
lemah. Ia harus tegak di atas dasar-dasar yang kokoh dan kuat.
Pada
tahun 1983, Syaikh Yasin merasa bahwa telah tiba saatnya untuk
melakukan persiapan fisik dan materil sesudah melakukan persiapan
spritual secara baik. Hal itu terlihat dengan berkembangnya sikap
religius di masyarakat dan munculnya kekuatan gerakan Islam sebagai
kekuatan kedua di berbagai universitas dan asosiasi. Bahkan di beberapa
komunitas ia mulai mengungguli gerakan pembebasan.
Oleh
pihak militer, Syaikh Yasin dianggap telah melakukan pengumpulan
senjata, membentuk pasukan militer dan menyerukan pelenyapan eksistensi
negara Yahudi. Karenanya, beliau ditangkap bersama koleganya kemudian
dihadapkan ke mahkamah militer Israel dan divonis 13 tahun penjara,
sementara hukuman yang lebih lama diberikan kepada sejumlah koleganya.
Di antaranya kepada Syaikh asy Syahid Solah Syahadah. Hal itu
berlangsung selama dua tahun. Pada tahun 1985, Syaikh Yasin keluar dari
penjara berkat proses pertukaran tahanan dengan Front Rakyat yang
dipimpin oleh Ahmad Jibril dengan pihak Israel, setelah beliau mendekam
selama 11 bulan dalam penjara rezim Imperialis Israel
Fase
itu adalah fase keputusasaan. Organisasi PLO mengalami kekalahan di
Beirut. Kondisi negara-negara Arab juga sedang jatuh. Tawar-menawar
dilakukan di sana-sini guna mengembalikan pengakuan internasional
terhadap Palestina.
Syaikh
kembali menghembuskan Gerakan Perlawanan Islam Palestina kalangan para
pemuda lewat berbagai masjid yang telah menjadi simbol dalam melawan
penjajah. Pihak terakhir ini merasa telah berhasil melenyapkan upaya
perlawanan masyarakat Palestina, di luar dan di dalam.
Maka
pada penghujung tahun 1987, tepatnya tanggal 14 Desember 1987, pada
masa penuh berkah terkait dengan munculnya gerakan intifadhah pertama,
Syaikh bersama tiga koleganya: asy Syahid Solah Syahadah, asy Syahid
Ibrahim al Muqadimah, dan asy Syahid Abdul Aziz Rantisi, mengumumkan
pendirian Gerakan Perlawanan Islam yang dikenal dengan nama “Hamas”.
Pada akhir bulan Agustus 1988, militer Imperialis Israel menyerbu rumah
kediaman beliau di Gaza. Mereka melakukan pengeledahan dan mengancam
membuang beliau dengan kursi rodanya ke Lebanon.
Lewat
perjalanan gerakan intifadhah yang pertama, Hamas menjadi penggerak
utama sampai-sampai gerakan intifadhah disebut dengan revolusi masjid
karena menjamurnya ceramah Islam yang disampaikan oleh Syaikh Yasin di
berbagai acara dari masjid ke masjid.
Otoritas
penjajah menyadari bahaya peran yang dimainkan oleh gerakan Hamas dalam
intifadhah. Sementara Syaikh Yasin sendiri menyadari bahwa lemparan
batu semata tidak cukup untuk memberikan rasa sakit ke tubuh penjajah.
Pada
mulanya dan dengan melihat kepada minimnya potensi yang ada, gerakan
tersebut dengan dipimpin oleh Syaikh Yasin dimulai dengan perang
menggunakan pisau. Selanjutnya di awal tahun 1989 berkembang menjadi
perlawanan bersenjata dan sampai kepada penculikan tentara Israel.
Akibatnya, pada tanggal 15 Juni 1989 (referensi lain menyebutkan tanggal
17 Mei 1989) rezim penjajah menangkap Syaikh Ahmad Yasin bersama kurang
lebih 260 pimpinan Hamas lainnya. Israel punya alasan, penangkapan
dilakukan sebagai upaya menghentikan perlawanan bersenjata yang terjadi
ketika itu yang mengambil bentuk serangan dengan menggunakan as silah al
abyadh (senjata putih), yakni selain senjata api, terhadap
serdadu-serdadu Israel, warga Yahudi serta penculikan terhadap agen-agen
Israel.
Pada
tanggal 16 Oktober 1991, mahkamah militer Imperialis Israel
mengeluarkan keputusan (tanpa sidang pengadilan) dengan memvonis Syaikh
Ahmad Yasin berupa penjara seumur hidup ditambah 15 tahun kurungan,
setelah disodorkan daftar tuduhan sebanyak sembilan item. Di antaranya
seruan (provokasi) penculikan dan pembunuhan terhadap serdadu-serdadu
Imperialis Israel, pendirian Gerakan Hamas beserta sayap militer dan
dinas keamanannya.
Penahanan
Syaikh Yasin beserta sebagian besar pimpinan gerakan Hamas di wilayah
Gaza dan Tepi Barat tidak menghentikan perjuangan. Justru hal itu
membentuk simpati yang membuat Hamas menjadi lebih berkembang dan lebih
besar. Dalam kurun waktu antara tahun 1989-1993 wilayah Gaza berubah
menjadi neraka yang menakutkan bagi para agresor. Brigade al Qassam,
sayap militer Gerakan Hamas juga menjadi alat yang menyulitkan penjajah,
sesuatu yang mempercepat terselenggaranya kesepakatan Oslo. Tujuannya
adalah untuk melepaskan diri dari tekanan perlawanan yang dilakukan oleh
Hamas dalam menghadapi tentara penjajah.
Bertahun-tahun
Syaikh Yasin menjadi tahanan penjara musuh. Namun, spirit dan
pernyataannya yang keluar dari dari penjara menghiasi perjalanan gerakan
tersebut yang semakin membesar di mata orang Palestina serta di mata
dunia Arab dan Islam. Terutama setelah munculnya gerakan mati syahid
yang ditetapkan oleh Gerakan Hamas dalam melawan penjajah yang dipimpin
oleh asy Syahid Yahya Ayyas yang mati syahid setelah dibunuh pada
tanggal 15 Januari 1996.
Bertahun-tahun
Syaikh mendekam di penjara dengan menolak tawaran perkaranya diadili.
Sementara itu gerakan Hamas terus berkembang dan para penjajah menyadari
ancaman eksitensi yang belum pernah dikenal dalam sejarah mereka
sebelumnya. Hal ini seperti yang diakui oleh Ya’kub Beiri dalam bukunya,
Datang untuk membunuhmu. Bunuh Ia segera!, yang mencatatkan sejarah
perlawanan gerakan Hamas di masa asy-Syahid Yahya Ayyas dan sesudahnya.
Rabu
pagi, tanggal 1 Oktober 1997, Syaikh Ahmad Yasin dibebaskan berkat
perjanjian yang berlangsung antara Jordania dan rezim Imperialis Israel,
dengan kompensasi penyerahan dua agen (antek) Zionis yang tertangkap di
Jordania setelah mereka gagal dalam upaya pembunuhan terhadap al-Akh
Khalid Misy’al, Kepala Biro Politik Hamas di Amman pada tanggal 25
September 1997.
Setelah
melanglang buana ke negara Arab, Syaikh kembali ke wilayah Gaza yang
menyambutnya bak pahlawan. Sang Pemimpin itupun kembali mengawasi
anak-anaknya.
Pada
tanggal 28 September 2000 perjalanan gerakan intifadhah untuk al-Aqsa
mulai muncul dengan Syaikh Yasin sebagai pemimpinnya. Ketika para
pimpinan politik ditangkap dan dibunuh di Tepi Barat, wilayah Gaza
relatif tidak terjangkau oleh penjajah. Hal itu karena ia memang sulit
dijamah. Hanya saja, kekuatan dan kehadiran pimpinan di Gaza, terutama
Syaikh Yasin, telah menyulut emosi penjajah. Mereka mulai melakukan
gelombang pembunuan terhadap para pemimpin militer dan politik. Maka,
dibunuhlah Syaikh Solah Syahadah, Ibrahim al Muqadamah, Ismail Abu
Syanab serta puluhan pimpinan sayap militer lainnya termasuk pengganti
Syaikh yasin, Dr. Abdul Aziz Rantisi yang dibunuh Israel pada 17 April
2004, kurang dari sebulan setelah pembunuhan Syaikh Yasin. Upaya
pembunuhan juga dilakukan atas diri Dr. Mahmud Zehhar namun upaya itu
gagal.
Pembunuhan
terhadap diri Syaikh yasin memang sudak diperkirakan oleh semua pihak.
Terlebih setelah aksi heroik di Asdod pada tanggal 15 Maret 2004 oleh
dua pejuang Palestina dari Gaza, penjajah Zionis memutuskan oparasi
pembunuhan dengan target para pimpinan gerakan politik guna melemahkan
eksistensi gerakan perlawanan. Maka pada Senin 22 Maret 2004, selepas
keluar dari masjid usai menunaikan shalat subuh, mobil yang ditumpangi
Syaikh Yasin dibombardir tiga rudal yang ditembakan pesawat heli tempur
Apache buatan Amerika. Syaikh Yasin gugur syahid bersama delapan orang
lainnya. Di antara mereka adalah para pendampingnya. Itulah akhir
kehidupan yang memang ia inginkan dan telah menjadi kehendak Allah.
Syaikh
Yasin gugur syahid setelah menyempurnakan bangunan perlawanan dan
merasa tenang karena bangunan tersebut sangat indah, kuat, dan kokoh.
Juga, setelah ia menciptakan kemenangan yang diketahui oleh seluruh
dunia lewat keputusan Sharon yang lari dari wilayah Gaza dengan
dissengagement pan-nya.
Syaikh
Yasin telah meninggal. Namun, perjalanan yang ia wujudkan dengan segala
kesungguhan, perjuangan, dan ruhnya akan terus maju hingga menghabisi
penjajah. Kita telah kehilangan seorang pahlawan yang menjadi legenda,
seorang syaikh yang mulia, dan seorang pendidik utama. Ia menginginkan
tanah air nenek moyangnya. Ia hendak mewujudkan haknya. Ia ingin agar
seluruh rakyat hidup dengan damai di tanah air yang merdeka dan bahagia.
Ia menuntut hak rakyat Palestina yang terkoyak oleh keputusan boneka
PBB, oleh gerakan zionis serta oleh antek-anteknya, juga pengkhianatan
sejumlah pimpinan tentara Arab di tahun 1948 dan sesudahnya.
Syaikh
Ahmad Yasin memang telah meninggalkan dunia. Namun, ia tidak lenyap
dari jiwa rakyat Palestina dan kaum muslimin. Ia adalah sosok yang
melegenda. Ia hanya punya kursi roda, kepala, dan hati semata. Itulah
fisik dan kondisi Ahmad Yasin. Namun, ia telah membuat takut Israel dan
para sekutunya, membuat takut Israel dan agen-agen intelijennya, membuat
takut beruang buas dan “penjagal” Sharon yang merubah haluan pesawat
berikut rudalnya kemudian diarahkan menuju kursi roda yang sedang
ditumpangi tubuh yang lumpuh itu. Selamat jalan Amir Mujahidin, Guru
Perlawanan Palestina. Semoga Allah menempatkanmu di sisinya bersama para
anbiya’, syuhada’dan shidiqin karena mereka itulah sebaik-baik teman.
Sumber : Sabillulhuda
0 komentar:
Posting Komentar